Friday 16 September 2011

kemeriahan malam lebaran di garot dan sekitarnya


SENJA mulai merambat di ufuk barat. Langit memerah indah karena cahaya mentari yang mulai tenggelam kembali ke peraduannya. kekompakan Sejumlah pemuda dan anak-anak di Mukim Garot (Kecamatan Indrajaya)dan sekitarnya yang dipisahkan aliran Sungai (Krueng) Baro, Pidie, mulai mengatur posisi meriam bambu dan karbit di tepi sungai desa masing-masing.

Sesuai dengan kesepakatan yang tak tertulis, perang meriam bambu--juga melibatkan meriam karbit--yang sudah menjadi tradisi menyambut Lebaran Idul Fitri sejak puluhan tahun lalu, kali ini akan dilaksanakan pada malam kedua Lebaran,
“Perang bude trieng (meriam bambu) yang biasa berlangsung pada malam Lebaran pertama ditunda menjadi malam Lebaran kedua . Ada imbauan supaya tidak melakukan kegiatan bersifat hura-hura pada malam takbiran,”

Meski ditunda, namun sempat beberapa kali terdengar suara dentuman bom karbit yang cukup dahsyat. Ledakan bom karbit yang menggetarkan tanah dan kaca jendela ini, ,
Suara bom karbit yang bisa terdengar hingga radius 5 kilometer ini, tak ayal memancing sejumlah warga dari sejumlah kecamatan lainnya di Pidie, Pidie Jaya, dan Aceh Besar, berdatangan ke lokasi yang menjadi arena “perang”.

Keadaan ini sempat membuat ruas jalan utama menuju ke pasar Garot-Aree, padat merayap. Kemacetan sempat terjadi di pertigaan pasar Garot arah Jabal Ghafur dan Gampong Aree. Namun, kesigapan pemuda setempat bersama beberapa petugas kembali membuat arus lalu lintas lancar, meski juga padat merayap.

Festival perang meriam bambu ini telah berlangsung selama puluhan tahun lalu. Namun, tidak diperoleh informasi yang akurat tentang asal-muasal munculnya tradisi yang melibatkan puluhan desa di sepanjang aliran (Krueng Baro dan Krueng Rubee ini.

Tradisi ini sempat menghilang pada tahun 2000, seiring membaranya kembali konflik bersenjata di Aceh, pascaruntuhnya pemerintahan Orde Baru, dan dicabutnya status DOM di Aceh. Saat itu, aparat keamanan melarang segala bunyi-bunyian yang mirip suara bahan peledak, termasuk mercon, meriam bambu, dan bom karbit.

Dulunya meriam bambu ini dibunyikan secara bersahut-sahutan dengan melibatkan ratusan hingga ribuan orang di kedua sisi sungai. Suasana semakin mirip “perang” ketika bom karbit diledakkan, di sela-sela suara meriam bambu yang bersahut-sahutan. Suara bom karbit ini terdengar hingga radius lima kilometer, menggetarkan bumi dan menimbulkan gemuruh di angkasa.

Sebagai gambaran, dalam semalam, karnaval perang meriam bambu yang melibatkan puluhan desa di tiga kecamatan (Delima, Indrajaya, dan Pidie) di sepanjang aliran Krueng Baro dan Krueng Reubee ini, bisa menghabiskan dana hingga Rp 100 juta. Biaya tersebut diperoleh dari sumbangan warga yang umumnya merupakan perantau. Bahkan, di Ulee Tutue Raya Aree, pengumpulan dana dilakukan hingga ke Malaysia dan Australia, dua negara yang memang menjadi tujuan utama perantau asal Pidie.

menurut surve tradisi tot bude trieng yang paleng meriah di seluruh indonesia hanya di garot dan sekitarnya

No comments:

Post a Comment