Friday 16 September 2011

PEMBERSIHAN DAN PENANAMAN DI GUHA TUJOEH LAWEUNG



Di Aceh memang terdapat banyak sekali wisata alam, sayangnya tidak dikelola dengan baik,
dalam menyambut hari lingkungan hidup tahun dan juga telah menjadi agenda tahunan 
KOPALA PIDIE-ACEH (Komunitas pecinta alam dan lingkungan hidup pidie-aceh)  melakukan 

kegiatan pembersihan dan penanaman di guha tujoeh laweung.
guha tujoeh adalah Salah satu tempat wisata yang menarik untuk di kunjungi, terletak di Desa Laweung Kecamatan Mutiara Kab. Pidie. Dari keude Grong - Grong masuk ke dalam kira² 70 Km dengan kondisi jalan lumayan berat atau bisa juga (namun tidak disarankan karena kondisi jalan yang lebih parah) via Desa Laweung di kaki Gunung Seulawah.

Guha Tujoeh sendiri terdari dari sekumpulan guha yang sangat dalam dan gelap, ada Guha Sarang (Gua Sarang Walet), Guha Uleu (Gua Ular) dan lain² yang jumlah keseluruhan mencapai tujuh gua. Bagi anda yang ga berani masuk ke dalam gua² tersebut sepertinya cukup puas dengan memasuki gua pertama yang ga dalam dan gelap.

Pada hari libur Guha Tujoeh selalu ramai dikunjungi oleh warga sekitar maupun pendatang, juga terdapat beberapa pemandu yang akan memberi penjelasan kepada anda mengenai gua - gua tersebut, jadi anda bisa bertanya ini itu pada beberapa orang yang selalu stand by di tempat tersebut dan bersedia menjadi pemandu anda untuk masuk ke dalam.

karna kurangnya kesadaran pegunjung akan kebersihan ,sehingga banyak sampah  Anorganik  yang dibawa oleh pegunjung masuk kedalam dan bayak lagi corat coret dinding oleh ulah tangan manusia2 yang terlampau kreatif dan egois tanpa memikirkan efeknya,
oleh karna itu  KOPALA PIDIE-ACEH dan di bantu oleh masyarakat sekitar melaukan pembersihan dan penghijauan dalam rangka menyambut hari lingkungan hidup sedunia.
semoga apa yang KOPALA PIDIE-ACEH lakukan bisa beranfaat untuk masyakat banyak.

        teruslah berbuat sedikit tapi bermakna

guha tujoeh Laweung



BATU PELAMIN YANG ADA DI DALAM GUHA UTAMA 
SAAT PEMBERSIHAN DI DEPAN PINTU GUA
PINTU TURUN KE DALAM GUA



FOTO BERSAMA DENGAN PENGHUNI GUA



PEMBERSIHAN DI DALAM GUA
FOTO BERSAMA DENGAN MASYARAKAT SETEMPAT













kemeriahan malam lebaran di garot dan sekitarnya


SENJA mulai merambat di ufuk barat. Langit memerah indah karena cahaya mentari yang mulai tenggelam kembali ke peraduannya. kekompakan Sejumlah pemuda dan anak-anak di Mukim Garot (Kecamatan Indrajaya)dan sekitarnya yang dipisahkan aliran Sungai (Krueng) Baro, Pidie, mulai mengatur posisi meriam bambu dan karbit di tepi sungai desa masing-masing.

Sesuai dengan kesepakatan yang tak tertulis, perang meriam bambu--juga melibatkan meriam karbit--yang sudah menjadi tradisi menyambut Lebaran Idul Fitri sejak puluhan tahun lalu, kali ini akan dilaksanakan pada malam kedua Lebaran,
“Perang bude trieng (meriam bambu) yang biasa berlangsung pada malam Lebaran pertama ditunda menjadi malam Lebaran kedua . Ada imbauan supaya tidak melakukan kegiatan bersifat hura-hura pada malam takbiran,”

Meski ditunda, namun sempat beberapa kali terdengar suara dentuman bom karbit yang cukup dahsyat. Ledakan bom karbit yang menggetarkan tanah dan kaca jendela ini, ,
Suara bom karbit yang bisa terdengar hingga radius 5 kilometer ini, tak ayal memancing sejumlah warga dari sejumlah kecamatan lainnya di Pidie, Pidie Jaya, dan Aceh Besar, berdatangan ke lokasi yang menjadi arena “perang”.

Keadaan ini sempat membuat ruas jalan utama menuju ke pasar Garot-Aree, padat merayap. Kemacetan sempat terjadi di pertigaan pasar Garot arah Jabal Ghafur dan Gampong Aree. Namun, kesigapan pemuda setempat bersama beberapa petugas kembali membuat arus lalu lintas lancar, meski juga padat merayap.

Festival perang meriam bambu ini telah berlangsung selama puluhan tahun lalu. Namun, tidak diperoleh informasi yang akurat tentang asal-muasal munculnya tradisi yang melibatkan puluhan desa di sepanjang aliran (Krueng Baro dan Krueng Rubee ini.

Tradisi ini sempat menghilang pada tahun 2000, seiring membaranya kembali konflik bersenjata di Aceh, pascaruntuhnya pemerintahan Orde Baru, dan dicabutnya status DOM di Aceh. Saat itu, aparat keamanan melarang segala bunyi-bunyian yang mirip suara bahan peledak, termasuk mercon, meriam bambu, dan bom karbit.

Dulunya meriam bambu ini dibunyikan secara bersahut-sahutan dengan melibatkan ratusan hingga ribuan orang di kedua sisi sungai. Suasana semakin mirip “perang” ketika bom karbit diledakkan, di sela-sela suara meriam bambu yang bersahut-sahutan. Suara bom karbit ini terdengar hingga radius lima kilometer, menggetarkan bumi dan menimbulkan gemuruh di angkasa.

Sebagai gambaran, dalam semalam, karnaval perang meriam bambu yang melibatkan puluhan desa di tiga kecamatan (Delima, Indrajaya, dan Pidie) di sepanjang aliran Krueng Baro dan Krueng Reubee ini, bisa menghabiskan dana hingga Rp 100 juta. Biaya tersebut diperoleh dari sumbangan warga yang umumnya merupakan perantau. Bahkan, di Ulee Tutue Raya Aree, pengumpulan dana dilakukan hingga ke Malaysia dan Australia, dua negara yang memang menjadi tujuan utama perantau asal Pidie.

menurut surve tradisi tot bude trieng yang paleng meriah di seluruh indonesia hanya di garot dan sekitarnya